Bila dilihat dari sudut pandang Israel, maka serangan ke Palestina ini, berapapun banyaknya orang Palestina yang tewas, adalah legal, sebagai balasan atas serangan roket Hamas ke wilayah pemukiman Israel.
Tapi pertanyaannya, mengapa Hamas begitu rajin menembakkan roket ke wilayah Israel? Apakah serangan konyol itu dimaksudkan untuk memprovokasi Israel agar negeri terkuat di Timur Tengah ini menyerbu balik Palestina dan membantai seluruh orang Palestina yang hidup di Gaza?Ada beberapa faktor yang memicu penembakan roket ke Israel. Pertama adalah faktor provokasi. Artinya, ada pihak luar selain Hamas yang meluncurkan roket. Contohnya, beberapa minggu setelah gencatan senjata enam bulan antara Hamas-Israel ditandatangani pada 19 Juni 2008, Hamas berhasil meringkus warga Palestina yang meluncurkan roket ke arah Israel. Si pelontar roket ini ternyata angota Brigade Syuhada Al-Aqsa, kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan Fatah pimpinan Presiden Mahmoud Abbas yang masih menjadi seteru Hamas. Selidik punya selidik, aksi penyerangan roket ini dilakukan sebagai balasan atas pembunuhan salah seorang anggota brigade oleh tentara Israel saat berusaha melintasi perbatasan Israel.
Faktor provokasi semacam ini sebenarnya cerita lama dalam sejarah pertempuran Palestina-Israel. Maria Mitsotakis, warga AS yang berhasil memasuki kamp-kamp pengungsi Palestina dengan menyamar sebagai wanita Palestina, menceritakan sebuah trik baru yang dipraktekkan pemerintah Israel sejak akhir 1980-an: “Serdadu-serdadu Israel menyamar sebagai kelompok-kelompok militan Palestina, menyerang orang-orang Palestina dengan pisau dan kapak dengan menggunakan kendaraan-kendaraan sipil berplat Tepi Barat. Tujuannya adalah menyulut pertikaian internal di daerah pendudukan dan menimpakan kesalahan kepada PLO.”
Selanjutnya, wanita yang datang ke Yerussalem dengan tujuan awal berziarah ke Gereja Kelahiran Yesus (Church of Nativity) ini menuturkan, serangan-serangan buas oleh tentara-tentara Israel terhadap rumah-rumah Palestina ini, yang dilukiskan oleh penguasa Israel sebagai “Penjagalan Palestina oleh Palestina”, sesungguhnya dilakukan oleh pasukan-pasukan komando penyebar maut Israel seperti yang dilaporkan oleh surat kabar New York Times di tahun 1989.
Faktor kedua adalah faktor intimidasi sistematis yang dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina. Salah satu cara terbaik adalah dengan melakukan penutupan jalur perdagangan ke dunia luar. Dengan blokade yang dilakukan oleh tentara Israel di setiap pintu perbatasan ini, warga Palestina terisolir dari dunia luar dan terancam mati kelaparan atau mati kesakitan.
Faktor ketiga adalah faktor balas dendam yang mencapai puncaknya pada 4 November 2008 saat Israel menewaskan 12 aktivis Hamas dalam aksi pengeboman salah satu terowongan di Jalur Gaza. Israel beralasan pengeboman berdarah ini dilakukan untuk mencegah aksi penculikan tentara Israel yang berpotensi dilakukan dengan memanfaatkan terowongan seperti ini.
Hamas dalam menghadapi Israel memang tidak bisa dibenarkan, tapi dapat dimaklumi karena mereka tak ubahnya rakyat biasa menghadapi kekuatan rezim yang begitu kuat. Mari kita selami perasaan bangsa Palestina saat melihat Israel dengan leluasa membangun permukiman, perumahan dan melebarkan jalan di tanah Palestina. Siapapun yang mengetahui tanahnya dicolong orang, pasti akan bereaksi keras. Belum lagi soal blokade ekonomi yang dilakukan secara rutin oleh Israel. Dan Hamas memilih terus memprotes penindasan ini dengan melemparkan roket ke wilayah permukiman. FYI, Israel hingga detik ini masih terus membangun perumahan ilegal di daratan Palestina.
Apakah Hamas lantas pantas disebut teroris? Hamas memang sedang melakukan teror. Teror terhadap negara pencuri agar mereka berhenti mencaplok tanah Palestina. Agar mereka tahu bahwa tindakan mereka yang semena-mena menimbulkan amarah yang tak terkira. Tapi untuk aksinya ini, Hamas terlalu mulia untuk disebut sebagai teroris. Hamas hanyalah sekumpulan orang yang sedang mempertahankan hak untuk hidup dan hak untuk merdeka bagi bangsa dan negaranya, persis seperti para pejuang negeri ini yang berjuang melawan kekuatan penjajah demi kemerdekaan Indonesia.
MAIN HAKIM SENDIRI
Di luar ketiga faktor pemicu diatas, dalam menyikapi konflik dengan kelompok Hamas dan kelompok lainnya, Israel lebih senang main hakim sendiri. Setiap kecurigaan dan dugaan Israel langsung dihajar dengan kekuatan militer. Tidak sedikitpun ada upaya Israel sebagai negara yang diakui PBB untuk mengkonfirmasi dugaan ini dengan azas Praduga Tidak Bersalah. Tapi kalau melihat cara Amerika mengatasi dugaan kepemilikan senjata pemusnah massal di Irak, langkah anak emasnya ini tidaklah mengejutkan.
Padahal, seperti ditulis oleh Hamid Awaludin di harian KOMPAS edisi 6 Januari 2009 dalam artikel berjudul “Menimbang Kebiadaban Israel”, negara Zionis ini belum berhak melakukan tindakan bela diri dengan melakukan serangan balik secara besar-besaran. Dalam hukum internasional ditetapkan bahwa tindakan bela diri dibolehkan bila suatu negara mendapatkan serangan bersenjata yang bersifat keterlaluan dan tidak memberi pilihan dan alternatif lain. Pasal 51 Piagam PBB juga dengan tegas mengatur tata-cara melancarkan tindakan bela diri ini, yaitu dengan mengikuti ukuran dan penilaian yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB.
Tapi jangankan meminta restu PBB, Israel justru enggan mendengarkan desakan PBB dan komunitas dunia untuk menghentikan serangan. Persis seperti kasus Bush yang tetap melancarkan serangan ke Irak meskipun tanpa restu PBB, lembaga dunia yang hanya dianggap sebagai mainan yang mengasyikkan.
SERANGAN BIADAB
Tapi, apapun alasan yang dipakai untuk memaklumi tindakan Israel, penyerangannya kali ini tidak mengikuti prinsip jus in bello (bagaimana melakukan serangan) seperti diatur dalam Konvensi Geneva 1949. Negeri yang diduga kuat memiliki senjata nuklir tersebut hanya mengikuti prinsip jus ad bellum (alasan yang membenarkan) dalam melancarkan serangan militer ke negara tetangganya.
Serangan yang diawali dengan serbuan udara jelas melanggar asas jus in bello, karena dengan meluncurkan bom dari udara, banyak anak-anak, wanita dan orang lemah baik beragama Islam maupun Kristen yang menjadi korban. Hasilnya adalah 500 orang lebih meninggal. Sasaran bom juga melebar ke permukiman, tempat ibadah, rumah sakit dan pusat perbelanjaan.
Bila sekarang Israel melancarkan serangan darat, itu bukan untuk meminimalisir jumlah korban, tapi untuk menuntaskan perang. Dalam perang, tidak mungkin menaklukkan lawan hanya dengan kekuatan udara. Perang hanya bisa dituntaskan dengan serangan darat, semua orang tahu itu.
Dalam invasinya ini Israel juga tidak pernah menolong warga sipil yang terluka. Lebih biadab lagi, mereka menutup rapat-rapat pintu perbatasan sehingga orang-orang dari penjuru dunia yang datang membawa dokter dan obat-obatan tidak bisa masuk untuk memberikan pertolongan dan meminimalisir jatuhnya korban jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar