Sabtu, 10 Januari 2009

Palestina Tanah Wakaf Umat Islam yang Terampas


Bangsa Yahudi menumpahkan kebencian dan kedengkiannya terhadap Islam di Palestina. Tak bisa dibiarkan rakyat Palestina menderita terlalu lama. Sanggupkah umat Islam bergerak? Ketika disintegrasi mengintip umat Islam (1000-1250), mulailah Palestina menjadi ajang pertikaian berdarah. Salah satunya adalah Perang Salib. Menurut catatan sejarah, Perang Salib I (1096-1144) diawali terhalangnya ziarah umat Kristen Eropa ke Yerusalem, lantaran Dinasti Seljuk yang mengusai Anatolia. Sehingga Paus Urbanus II berseru mengobarkan perang melawan umat Islam (1095).




Tapi, Tampaknya, kasus terhalangnya umat Kristen ini hanya entry point agar Kristen punya alasan menguasai Palestina, tempat lahirnya Nabi Isa as. Tak aneh bila perang Salib pun harus berjilid-jilid, yakni Perang Salib kedua pada tahun 1144-1192, dan Perang Salib ketiga 1193-1291. Namun, yang jelas kaum Muslim mampu mempertahankan tanah wakaf Palestina, yang awalnya telah dimerdekakan Al-Faruq, Khalifah Umar ibnul Khattab, dari penjajah Romawi.

Kala Palestina di bawah Kekhalifahan Turki Utsmani, Inggris mampu menguasai kawasan Bulan Sabit (Fertile Creescent) di Yordania dekat Palestina (1917/1918). Sejak itu Palestina selalu menjadi ajang rebutan pengaruh negara-negara Eropa. Seiring kekalahan Turki Utsmani yang bersekutu dengan Jerman, pada Perang Dunia I (1914-1918), akhirnya Palestina jatuh ke tangan Inggris. Sejak itulah malapetaka Palestina menemui babak baru.

Pasalnya, atas prakarsa Menteri Luar Negerinya Arthur James Balfour (2 November 1917), yang terkenal dengan Deklarasi Balfour. Inggris memberi dukungan berdirinya negara Yahudi di Palestina dengan Boleh jadi keberpihakan Inggris terhadap bangsa Yahudi karena trauma Perang Salib yang berkarat. Deklarasi Balfour disambut bangsa Yahudi dengan suka cita, karena telah melegimitasi cita-cita Kongres I bangsa Yahudi di Basel Swiss.

Kongres yang berlangsung pada tanggal 29 Agustus 1897 itu menyepakati gerakan Zionisme sebagi usaha menuju negara Yahudi. Lebih dari itu, Zionisme tidak sekadar membentuk negara Yahudi, tapi merupakan batu loncatan terbentuknya Israel Raya di permukaan bumi, seperti yang tercantum dalam Protokol Yahudi. Cita-cita Zionis ini berkaitan erat dengan perasaan lebih unggul bangsa Yahudi ketimbang bangsa lain. “Yahudi memang mengklaim dirinya sebagai bangsa pilihan Tuhan. Sedangkan bangsa lain mereka anggap ghayem, binatang ternak yang harus ditunggangi,” jelas Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan, Abu Ridho. Dengan terbentuknya Negara Israel, maka obsesi Yahudi menjadi penguasa dunia akan lebih mudah jalannya.

Ideolog Zionisme Theodore Herzl dalam buku Der Judenstaat (The Jewish State), mengupas pentingnya Palestina sebagai negara Yahudi, setelah mereka tercerai-berai. Awal tercerai-berainya bangsa Yahudi terjadi pada saat Palestina dikuasai Cyrus Agung (memerintah 576-529 SM) pendiri Kerajaan Persia. Kemudian mereka kembali terusir ketika Pasukan Romawi di bawah Panglima Papyrus (tahun 70) menguasai Palestina.

Akibat itu semua, mereka tersebar di segenap penjuru dunia. Dan, di setiap daerah sebaran Yahudi, mereka ditolak atau diusir bangsa setempat. Penolakan bangsa setempat itu, karena bangsa Yahudi kerap menimbulkan masalah. Peristiwa yang paling monumental adalah dari pengusiran Kabilah Yahudi Madinah di zaman Rasulullah saw, lantaran mereka melanggar perjanjian Piagam Madinah.

Keberadaan bangsa Yahudi baru muncul pada abad 19, setelah sebagian dari mereka muncul menjadi usahawan sukses dan ilmuwan ternama seperti ekonom Adam Smith, sosiolog Karl Marx, atau fisikawan Albert Einsten. Hanya saja pengaruh besar bangsa Yahudi itu tidak searah dengan kecemasan hidup mereka ketika harus tinggal bersama-sama bangsa lain. Tak aneh, bila pengamat politik R William Liddle melihat kecemasan itu masih ada hingga saat ini, khususnya di Amerika Serikat.

Pada tanggal 14 Agustus 1922, Inggris menempatkan Herbert Samuel sebagai wakilnya di Palestina. Dan sejak itulah secara resmi izin imigrasi Yahudi Eropa efektif berlaku. Izin ini menimbulkan amarah bangsa-bangsa Arab. Lantaran, jumlah Yahudi tidak lebih dari 5% persen penduduk Palestina, sedangkan sekitar 85% penduduknya beragama Islam. Sejak itu negara-negara Arab menolak kekuasaan Inggris atas Palestina.

Akibat Deklarasi Balfour jumlah penduduk Yahudi meningkat tajam. Pada tahun 1944 jumlahnya telah mencapai 554.000 orang, padahal tahun 1931 baru 83.610 orang. Pertumbuhan inilah yang membuat marah Muslimin Palestina, hingga memberontak terhadap Inggris.

Melihat situasi yang tidak menguntungkan ini, Inggris meminta bantuan PBB untuk berperan aktif menyelesaikan masalah Palestina. Muncullah Resolusi PBB No. 181 pada tanggal 29 November 1947, yang isinya membagi Palestina menjadi negara Arab dan negara Israel. Dan, untuk sementara Palestina di bawah pengawasan internasional. Keputusan PBB disambut dengan antusias oleh bangsa Yahudi. Setelah Inggris mengundurkan diri, mereka dengan culas memproklamirkan negara Israel dengan ibukota Yerussalem.

Tapi sebaliknya bagi Muslimin Palestina. Resolusi No. 181 itu telah menabuh genderang perang Arab-Israel. Pada bulan Mei 1948 kaum Muslim menyerbu Israel dengan dukungan bangsa-bangsa Arab lainnya. Peperangan itu akhirnya memaksa PBB memprakarsai genjatan senjata, hanya saja tanpa ada perjanjian. Sehingga perang kedua pun pecah kembali pada tahun 1967 yang dikenal dengan Perang Enam Hari. Sayangnya, seluruh Palestina sampai Port Said Mesir dikuasai Israel.

Tentu saja jatuhnya Palestina ke tangan Zionis membuat kesedihan kaum Muslim dan bangsa Arab makin menjadi-jadi. Sehingga, tidak ada jalan lain, perang pun dikobarkan. Pada tahun 1973 perang pecah kembali, yang terkenal dengan Perang Yom Kipur. Hanya saja perang ini tidak mampu mengembalikan wilayah Palestina secara utuh, hanya mengembalikan Gurun Sinai dan Bar-lev.

Ironisnya, perjuangan Muslimin Palestina justru dinodai sikap Presiden Mesir Anwar Sadat yang mengakui secara diplomatik Negara Israel (1977). Inilah awal dari lemahnya posisi Muslimin Palestina, karena kehilangan sekutu terdekat dalam menghadapi Israel. Maka, tak aneh bila posisi Muslimin Palestina semakin terjepit.

Posisi terjepit semakin menjadi-jadi setelah perundingan Camp David antara Mesir dan Israel, dengan sponsor Amerika. Lantaran, secara diplomatik Mesir mengakui wilayah Palestina yang dirampok Israel. Dan hanya membicarakan otonomi beberapa wilayah Palestina seperti Gaza dan Tepi Barat, serta sedikit menyelesaikan Sinai.

Di satu pihak kemenangan diplomatik ini membuat Israel percaya diri, dan semakin brutal. Ini terbukti dengan tindakan Israel merampok tanah Lebanon Selatan pada tahun 1982. Dan, biadabnya lagi, pasukan Israel dipimpin Ariel Sharon membantai pengungsi Palestina yang berada di kamp Sabra dan Satila (17 September 1982). Pembantaian itu mengisyaratkan bahwa Israel tidak ada niatan berhenti berperang, dan tidak mau kalah sejengkal pun dari muslimin Palestina. Karena itu, AS sebagai sekutu utama Israel mencoba menggandeng Yordania. Inisiatif ini diprakrsai oleh Presiden AS Ronald Reagan (1982). Boleh jadi perundingan ini untuk menghindari adanya perundingan langsung Israel dengan kaum Muslim, yang bisa secara eksplisit memaksa Israel mengakui keberadaan Muslimin Palestina.

Untuk menghindari perundingan dengan kaum Muslim, Israel mencoba memecah belah bangsa Palestina. Caranya dengan mengajak berunding faksi nasionalis-sekuler Palestina yakni PLO (Palestine Liberation Organization), pimpinan Yasser Arafat. Sementara faksi Islam seperti Hamas tidak dilibatkan. Politik pecah-belah ini mulai menemui hasil ketika PLO mengadakan perundingan damai dengan Israel di Madrid Spanyol (Oktober 1991), yang hasilnya berupa pengakuan PLO terhadap negara Israel beserta seluruh wilayahnya.

Kegigihan Israel untuk meluluhlantakkan kekuatan umat Islam di Palestina, menurut Abu Ridho, sejalan dengan sikapnya menjadikan umat Islam sebagai musuh bersama. Abu Ridho lebih jauh menegaskan bahwa permusuhan Islam dan Yahudi akarnya adalah ideologi, bukan sekadar perebutan wilayah. Karena itu, peperangan yang ingin dilancarkan Yahudi juga bersifat semesta.

Senada dengan Abu Ridho, ahli tafsir Dr. Ahzami Samiun Jazuli menyatakan, pertempuran antara Islam dan Yahudi adalah abadi. Menurut Ahzami, peristiwa-peristiwa yang terjadi di Palestina hanyalah pengingat kaum Muslim bahwa ada musuh abadi yang menentang Islam, yaitu Yahudi.

Terkait dengan Yahudi, Dr. Yusuf Qardhawi memberikan pandangan. Penulis puluhan buku ini mengatakan, saudara terdekat Islam dalam tauhid adalah Yahudi bukan Nasrani. Karena mereka tidak menganggap Isa sebagai Tuhan, mengharamkan babi, dan memerintahkan berkhitan. Hanya, meski ketauhidannya dekat, tapi kebencian dan kedengkiannya pada Islam amat kental. Ketika Muhammad saw diangkat menjadi rasul, mereka tidak segera mengimani bahkan menentangnya, hanya karena Rasulullah bukan orang Yahudi. Lebih dari itu, bangsa Yahudi telah meneteskan darah nabi-nabi yang datang pada mereka. Termasuk persekongkolan mereka dalam usaha pembunuhan Isa as, nabinya umat Nasrani. Repotnya, negara-negara barat yang mayoritas Nasrani seperti Amerika Serikat, justru dikangkangi Yahudi.

Menurut pengamat politik R William Liddle, pengaruh Yahudi di Amerika Serikat sangat kuat, lantaran Yahudi Amerika menguasai semua bidang kehidupan di sana. Padahal jumlah mereka cuma 3% dari penduduk Amerika Serikat yang mencapai 248 juta jiwa (1989). Tapi dengan jumlah yang kecil itu, menurut Liddle, membuat mereka ulet. Sehingga bangsa Yahudi Amerika Serikat mampu menyusup dan mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, seperti George Soros di bidang ekonomi dan Henry Kissinger dalam politik. Padahal menurut Guru Besar Politik The Ohio State University ini, bangsa Yahudi awalnya hanyalah peddlers, pedagang eceran keliling dan pengusaha bankir kecil. Kerja keras mereka memang luar biasa. Dan kerusakan yang mereka timbulkan juga amat besar.

Karena itu, wajar bila Abu Ridho mengatakan bahwa tidak cukup melawan Yahudi dengan bekal semangat saja. Tapi lebih dari itu. Untuk itu, menurutnya, jihad harus selalu dikobarkan di segala bidang. Umat Islam di seluruh dunia harus menyiapkan diri agar mampu memenangkan pertempuran semesta ini. Allahu Akbar! n



Tidak ada komentar: